Beda ‘Dirumahkan’ Dengan ‘PHK’, Ini Definisinya

Beda ‘Dirumahkan’ Dengan ‘PHK’, Ini Definisinya

Saat ini banyak perusahaan terpaksa melakukan tindakan ‘merumahkan’ karyawannya karena alasan tidak adanya pemasukan ke perusahaan, yang mengakibatkan perusahaan itu sendiri tidak mampu membayar gaji karyawan.

Tidak hanya dirumahkan, bahkan ada juga perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK, karena alasan efisiensi dampak dari krisis ekonomi di Indonesia bahkan dunia akibat pandemi Covid 19.

Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan maksud menekan penyebaran wabah Covid 19, memang sudah diperkirakan memiliki efek lainnya yakni kegiatan ekonomi terutama di pasar akan mengalami masalah, yang berujung pada pemecatan dan merumahkan karyawan.

Walau demikian pemerintah pusat memberikan respon dengan meluncurkan kartu pra-kerja yang di klaim dapat membantu orang yang belum bekerja dan korban PHK akibat pandemi ini. Dengan nilai total bantuan Rp 3.550.000

Baca juga : Bantuan Dana 3,5 juta Dari Kartu Pra-Kerja, Begini Rincian Pengalokasianya

Dari tindakan-tindakan yang diambil perusahaan dengan alasan untuk melakukan efisiensi dan penghematan pengeluaran, ada 2 tindakan yang diambil yakni pemutusan hubungan kerja dan kebijakan ‘dirumahkan’.

Namun tentunya teman-teman yang belum memahami ini, menganggap kebijakan ‘dirumahkan’ dan PHK adalah 2 hal yang sama. Padahal yang sebenarnya PHK dan ‘dirumahkan’ memiliki arti yang berbeda, dan di bawah ini adalah perbedaan kebijakan ‘dirumahkan’ dan PHK (pemutusan hubungan kerja).

Definisi kebijakan ‘dirumahkan’ dan PHK

Karyawan dirumahkan

Karyawan yang dirumahkan adalah mereka yang sementara waktu dinonaktifkan dari pekerjaan dan tanggung jawabnya, dalam kurun waktu yang tertentu. Dan karyawan yang ‘dirumahkan’ akan kembali dipekerjakan atau di aktifkan setelah ada keputusan dari pihak perusahaan atau pengusaha.

Kebijakan untuk merumahkan karyawan harus dengan alasan dan sebab yang jelas, yang mana perusahaan atau yang bersangkutan benar-benar tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai karyawan. Misalnya selama pandemi ini, yang mana menurut perintah dari pemerintah pusat untuk menghentikan segala kegiatan yang dapat berpotensi menyebarkan virus.

Apakah karyawan yang dirumahkan mendapatkan gaji?

Sayangnya pertanyaan ini hanyalah sebatas pendapat, pasalnya kebijakan merumahkan karyawan ini tidak disebutkan dalam UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan hingga saat ini belum ada keputusan dari puast yang mengharuskan perusahaan membayar karyawan dirumahkan atau tidak.

Menurut Hariyadi B Sukamdani, Ketum Apindo (asosiasi pengusaha Indonesia), para pekerja tidak digaji selama mereka dirumahkan. menurutnya ketua Apindo tersebut ini sudah sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) UU 13/2003 yang berbunyi “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.”

Namun hal berlawanan disampaikan oleh ketua YLBHI (yayasan lembaga bantuan hukum indonesia) Asfinawati.

Menurutnya pekerja yang ‘dirumahkan’ terlepas dari situasi wabah ini yang mengakibatkan krisis upah mesti dipenuhi oleh pemberi kerja. Ia merujuk kepada Pasal 93, tapi ayat (2). Di sana dijelaskan ketentuan seperti apa yang membuat ayat (1) tidak berlaku. Misalnya, dijelaskan bahwa upah harus tetap dibayar penuh jika “pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Sumber : tirto.id

Karyawan yang di PHK

Selain dirumahkan banyak karyawan yang juga menjadi korban PHK di kondisi seperti ini, karena perusahaan yang tidak dapat membayar gaji mereka akibat krisis yang sedang terjadi akibat pandemi covid 19.

Jika berbicara pemutusan hubungan kerja menurut UU ketenagakerjaan sebenarnya sudah jelas diatur dalam pasal 158, dan besaran nominal diatur secara rinci di pasal 156 di UU no 13 tahun 2003.

Karyawan yang terkena PHK memiliki Hak atas uang pesangon dan penghargaan dari perusahaan, berdasarkan hitungan masa kerja mereka. Hal tersebut bisa Anda baca jelas di pasal 156 undang-undang no 13 tahun 2003.

Baca juga : Hak Karyawan/Pekerja Yang Terkena PHK Berdasarkan UU

Demikian adalah perbedaan antara kebijakan ‘dirumahkan’ dengan PHK, berdasarkan peraturan yang berlaku. Walau pada kesimpulannya, pertanyaan karyawan yang ‘dirumahkan’ dibayar atau tidak masih menjadi perdebatan.

Hak Karyawan/Pekerja Yang Terkena PHK Berdasarkan UU

Hak Karyawan/Pekerja Yang Terkena PHK Berdasarkan UU

Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK dari perusahaan kepada karyawan di masa wabah pandemi ini sering dilakukan karena adanya kebijakan efisiensi, Hal tersebut dilakukan karena tidak lain dan tidak bukan karena efek dari covid 19 yang menyebabkan pasar-pasar dan kegiatan usaha terhenti sejenak, yang menyebabkan tidak adanya pemasukan ke perusahaan.

Perlu diketahui bahwa karyawan yang terkena imbas dari PHK memiliki hak yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan yang terdampak. Hak karyawan yang di PHK berbentuk apresiasi dalam bentuk uang pesangon sesuai dengan masa kerjanya di perusahaan tersebut.

Namun tidak semua karyawan berhak atas hak pemutusan hubungan kerja ini. Ada syarat dan ketentuan yang tertulis. Dan berikut ini adalah hak-hak pekerja yang terkena PHK berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun sebelum itu sebagai pengantar, perlu kita ketahui terlebih dahulu apa itu PHK dan bagaimana undang-undang mengaturnya.

PHK adalah..

Dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatakan PHK adalah “Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha”.

Dari definisi yang merujuk kepada pasal tersebut, maka kondisi pemutusan hubungan kerja juga bersifat kondisional, bisa karena 1 atau 2 hal. Contoh-contohnya antara lain seperti masa kontrak yang telah habis, karyawan yang tidak dapat lulus dalam masa uji coba (probation), alasan efisiensi perusahaan, dan karena pekerja yang bersangkutan tersandung masalah yang telah melanggar aturan, ketentuan, dan etik perusahaan.

Ada banyak kondisi dimana seorang karyawan dapat di PHK oleh perusahaan, baik secara sukarela ataupun tidak. Tetapi apakah karyawan/pekerja yang melakukan pelanggaran berat atau pidana dapat ditindak PHK? Dan apakah yang bersangkutan (karyawan) mendapatkan pesangon?

Yang pertama jika karyawan memenuhi syarat penerima pesangon berdasarkan masa kerja, maka tetap perusahaan wajib memenuhi kewajiban tersebut berdasarkan UU No 13 tahun 200 tentang ketenagakerjaan pasal 156.

Baca juga : Cara Daftar Kartu Pra-kerja, dan Step By Step-nya

Dan jika alasan PHK akibat kelakuan buruk, kriminal, dan yang lainnya harus berdasarkan putusan hukum, dalam hal ini ada bukti berkekuatan hukum baru disana perusahaan bisa melakukan tindakan PHK.

Dan berdasarkan pasal 158 ayat 3 UU no 13 tahun 2003 ‘Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).’

Berdasarkan undang-undang yang berlaku, apakah karyawan yang melakukan tindak-tindakan yang buruk yang disebutkan dalam Pasal 158 ayat 1 UU ketenagakerjaan dapat di PHK atau tidak? Dan apakah yang bersangkutan mendapatkan pesangon?

Jawabannya adalah yang bersangkutan (karyawan) yang melakukan tindakan buruk dapat diberhentikan kontrak kerjanya oleh perusahaan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum dan resmi, dengan memberikan hak nya berupa uang pesangon berdasarkan pasal 156 UU ketenagakerjaan.

Hak pekerja yang terkena PHK berdasarkan UU ketenagakerjaan

hak karyawan yang terkena PHK

Dari tadi kita berbicara tentang pasal 156 undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang mengatur uang pesangon dan penghargaan bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK, dan berikut ini adalah isi dari pasal 156 UU ketenagakerjaan.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagaiBerikut:

    a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
    b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)bulan upah;
    g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
    h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
    i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Baca juga : Beda ‘Dirumahkan’ Dengan ‘PHK’, Ini Definisinya

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

    a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
    g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
    h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

    a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
    b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
    c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
    d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Sumber : hukumonline.com

Demikian adalah hak-hak pekerja atau karyawan yang terdampak PHK, berdasarkan undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

UU Tentang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena efisiensi

UU Tentang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena efisiensi

UU tentang PHK – Baru-baru ini kita agak dikagetkan oleh kebijakan yang diambil oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional, karena menganjurkan karyawannya untuk mengundurkan diri dari perusahaan, karena alasan adanya efisiensi tenaga kerja. Netizen pun menyayangkan kebijakan yang di ambil televisi masa kini, pasalnya salah satu chanel tv terbaik ini merupakan yang paling idelis dalam menayangkan dan menyajikan konten yang bermutu.

Walaupun pihak televisi tersebut menyangkal sangkaan akan adanya PHK massal, namun apakah sebenarnya pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi perusahaan, diperbolehkan atau tidak menurut undang-undang?

Sebenarnya melakukan efisiensi tenaga kerja di perusahaan diatur dalam UU ketenagakerjaan tentang PHK pada pasal 164 ayat 3 yang mengatakan “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, …”

Dalam pasal tersebut memang pengusaha sebagai pihak pemberi upah diperbolehkan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh/pegawai/karyawan mereka karena alasan efisiensi. Namun pada praktik dan hitung-hitungan perihal pesangon tidaklah mudah.

Ada beberapa syarat selain pemenuhan pemberian pesangon, pada bab perjanjian kerja sama, terdapat kondisi-kondisi tertentu agar perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, seperti membuktikan bahwa adanya kerugian dengan laporan keuangan dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Dan apabila ternyata perusahaan Anda sedang bermasalah dari aspek financial atau keuangan dan memerlukan adanya efisiensi tenaga kerja dengan melakukan PHK, maka sebaiknya ikuti tahapan-tahapan sebelum Anda melakukan PHK

Tahapan melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) karena efisiensi

Pertama : Bacalah dengan teliti kitab UU ketenagakerjaan tentang PHK    

Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 di Bab XII tentang PHK yang dimulai sedari Pasal 150 sampai Pasal 172, banyak membahas aturan tentang PHK, dari pasal-pasal ayat tersebut pahami impilkasi dari pemutusan hubungan kerja serta persyaratan apa saja yang harus terpenuhi.

Kedua : Lakukan audit keuangan perusahaan

Sesuai yang dikatakan pada pasal 164 ayat 3, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasa efisiensi apabila perusahaan sedang mengalami kerugian, dalam waktu 2 tahun berturut-turut.

Untuk membuktikan adanya kerugian yang dialami oleh perusahaan, perusahaan harus melakukan audit itupun juga perlu dilampirkan dalam laporan, upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan untuk menyelematkan keuangan perusahaan.

Apabila kerugian tidak dapat dibuktikan melalui laporan, maka yang terjadi adalah perusahaan tidak akan mendapatkan izin dari LPPHI (dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) yang mengurusi perjanjian kerja industri.

Ketiga : Kantongi izin PHK

Seperti yang Anda tahu diatas bahwa untuk melakukan PHK diperlukan izin dari LPPHI hal tersebut tertulis dalam Pasal 152 yang berbunti sebagai berikut :

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Keempat : Beri tahu dan pengertian kepada karyawan

Setelah mendapatkan izin dari LPPHI, Seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut harus diberitahu alasan dibalik PHK kepada mereka, bukan hanya karena alasan efisiensi tapi berikan juga bukti kerugian dan kesulitan keuangan yang dialami perusahaan.

Hal ini merupakan tugas humas perusahaan, yakni memberi pengertian kepada semua karyawan yang terkena dampak atas masalah kesulitan keuangan tersebut. Dan beri tahu juga perihal jaminan atau kompensasi yang mereka terima.

Kelima : Hitung uang pesangon pemutusan hubungan kerja

Lakukan perhitungan uang pesangon seperti apa yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Biasanya hitungan pesangon termasuk komponen gaji pokok, tunjangan tetap, hari raya, kesehatan, pensiun, dan lainnya.

Keenam : Buat surat keterangan bekerja dari perusahaan Anda untuk karyawan

Surat keterangan pernah bekerja di perusahaan Anda adalah hal penting bagi karyawan untuk melamar ke perusahaan yang baru, surat ini diperlukan untuk “mempercantik” CV mereka. Dalam surat berikanlah keterangan masa kerja serta prestasi atau pencapaian selama bekerja untuk perusahaan Anda. Selain untuk melamar, Surat ini juga bisa untuk melakukan pencairan dana JHT.

Ketujuh : Minta karyawan untuk tandatangani dokumen dan mengembalikan inventaris perusahaan

Dokumen ini berisikan tentang informasi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan kepada karyawan mereka, dalam dokumen tersebut terlampir data diri dan pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan.

Apabila karyawan memiliki barang kantor atau inventaris yang digunakan karyawan selama bekerja, maka perusahaan berhak memintanya kembali. Anda juga bisa membuka kembali arsip inventaris perusahaan.

Kedelapan : Buat perpisahan yang manis         

Walau tidak wajib dan diharuskan tapi membuat moment manis yang bisa dikenang merupakan suatu kebahagiaan sendiri bagi setiap orang. Mereka yang telah bekerja bersama dan saling mengenal satu sama lain mungkin akan terpisah pasca PHK ini, maka perusahaan bisa memfasilitasi perpisahan tersebut dengan cara membuat acara farewell untuk mereka yang terkena PHK.