Penghitungan pajak suami dan istri beda NPWP bisa saja
terjadi dan memang ada beberapa kasus yang nyata, karena beberapa alasan
seperti adanya perjanjian tertulis pisah harta. Walaupun dalam UU PPh bawasannya
suami dan istri juga seluruh anggota keluarga merupakan kesatuan ekonomi.
Penjelasan itu ada pada Pasal 8 UU PPh nomor 36 tahun 2008 yang mengatakan: “penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabung sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga ( dalam hal ini suami)”.
Sebagai konsekuensi penghitungan PPh suami dan istri beda NPWP yakni pajak yang dibayarkan menjadi lebih mahal karena pajak progressif, bahkan beresiko pajak mereka kurang bayar. Namun kasus suami istri beda NPWP ini masih diperbolehkan dengan penghitungan sebagai berikut:
Penghitungan pajak suami dan istri beda NPWP
Penghasilan netto suami = Rp 400.000.000 Penghasilan netto istri = Rp 200.000.000 Jumlah = 600.000.000
Dengan status NPWP dan pembayaran pajak tahunan terpisah ini harus juga dilengkapi atau melampirkan dokumen saat melaporkan SPT, yakni dokumen Formulir 1770 atau Formulir 1770 S beserta Lampiran lainnya yang dibutuhkan.
Demikian adalah cara Penghitungan pajak suami dan istri beda NPWP sesuai ketentuan yang berlaku, yang tentunya jika dihitung-hitung pajak penghasilan yang dibebankan memang lebih besar karenan adanya pajak progressif dari istri dan rumah tangga.
Saat ini persaingan makin meningkat di dunia kerja, fenomena karyawan kontrak di Indonesia sendiri telah berlangsung cukup lama, baik dilakukan oleh perusahaan lokal maupun perusahaan asing.
Tak jarang banyak perusahaan mau menggunakan karyawan kontrak bagi dengan berbagai alasan. Diantaranya adalah karena kemampuan perusahaan terbaru yang belum mapan, membutuhkan pembiayaan, pengelolaan dan iklim usaha serta meningkatkan stabilitas perusahaan.
Maka dari itu, setiap perusahaan telah menerapkan berbagai peraturan yang berkaitan dengan perjanjian kerja untuk karyawan kontrak. Salah satu peraturan tersebut adalah peraturan perpajakan PPh 21 yang berlaku dalam sistem kontrak. Berikut ulasan lengkap tentang pengertian karyawan kontrak dan perhitungan PPh 21 untuk karyawan kontrak.
Pengertian Karyawan Kontrak
Secara hukum, karyawan kontrak adalah karyawan dengan status bukan karyawan tetap. Dengan kata lain, karyawan kontrak juga adalah karyawan memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan terbatas untuk jangka waktu tertentu atau berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Istilah karyawan kontrak sering disebut ‘’Karyawan PKWT’’, artinya karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Secara praktek, setiap perusahaan yang menerapkan sistem kontrak jangka waktu tertentu, sebelum kemudian karyawan tersebut diangkat menjadi karyawan tetap.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 16/PJ/2016 pada Pasal 1 ayat 10, karyawan tetap merupakan karyawan yang memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta karyawan yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu
Perhitungan PPh 21 Karyawan Kontrak
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) no. 545/PJ./2000, untuk menghitung PPh 21, meskipun status karyawan adalah “kontrak’’, baik kontrak untuk jangka waktu tertentu atau berdasarkan pekerjaan tertentu, karyawan tersebut bisa memperoleh gaji dan atau imbalan dalam jumlah tertentu secara berkala. Maka dari itu, cara perhitungan PPh 21 untuk karyawan kontrak sama dengan karyawan tetap.
Namun, perbedaannya terletak pada pengurang biaya jabatan yang diperoleh sebesar 5% dari penghasilan bruto, dengan batas maksimum Rp 500.000 per bulan sejak tahun 2009.
Contoh Kasus
Pamela dengan status hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) digolongkan sebagai karyawan kontrak yang dikenakan PPh 21 sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-32/PJ/2015. Pamela adalah karyawati yang bekerja sebagai staf Administrasi di PT XYZ dengan memperoleh upah pokok sebulan Rp 7.000.000,00. PT XYZ mengikutsertakan karyawan tersebut ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dibayarkan oleh pemberi kerja sebesar 0.5% dan 0.3%. Pamela dapat menanggung iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2% dari upah setiap bulan. Maka perhitungan besarnya PPh 21 yang diterima Pamela di bulan September adalah:
Upah pokok = Rp 7.000.000
JKK = 0.5% x Rp 7.000.000 = Rp 35.000
JK = 0.3% x Rp 7.000.000 = Rp 21.000
Penghasilan bruto = Upah pokok + JKK + JK
= Rp 7.000.000 + Rp 35.000 + Rp 21.000
= Rp 7.056.000
Jumlah penghasilan bruto yang didapat Pamela adalah Rp 7.056.000,-
Pengurangan:
Biaya jabatan = 5% x 7.056.000 = Rp 353.152
Iuran JHT = 2% x 7.000.000 = Rp 140.000
Total biaya jabatan + iuran JHT = Rp 493.152
Penghasilan netto adalah total penghasilan bruto dikurangi dengan total biaya jabatan dan iuran JHT.
Penghasilan netto = Rp 7.056.000 – Rp 493.152 = Rp 6.562.848
Penghasilan netto setahun = Rp 6.562.848 x 12 bulan = Rp 78.754.176
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 Pasal 1.
PTKP
Untuk WP sendiri = Rp 54.000.000 (tarif PTKP untuk wajib orang pribadi)
Total PTKP = Rp 54.000.000
Total Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun = Penghasilan netto setahun – total PTKP
= Rp 78.754.176 – Rp 54.000.000
= Rp 24.754.176
PPh 21 terhutang setahun
= 5% x Rp 24.754.176
= Rp 1.237.709
PPh 21 terhutang dalam bulan September = Rp 1.237.709 / 12 bulan = Rp 103.142,-
Demikian informasi tentang pengertian karyawan kontrak beserta perhitungan PPh 21 untuk karyawan kontrak. Semoga bermanfaat bagi para pembaca!